Minggu, 16 Agustus 2015

Politik Pengandaian ala Kang Sobari

Selesai sudah membaca buku kang Sobari. Beserta itu pula hal-hal yang saya harapkan muncul juga di sana. Kang Sobari tidak mungkin tidak mengagumi Gus Dur yang sahabatnya sendiri, tetapi dia tahu bagaimana seharusnya menjadi sahabat yang baik, teman dekat yang melihat kedekatan sebagai usaha koreksi dan saling mengingatkan. Bukankah menjadi orang dekat justru memberi kita kesempatan lebih untuk memberi kritik dan koreksi yang cerdas, dan justru objektif? Kang Sobari melakukan perannya dengan sangat baik dalam hukum kedekatan ini, tidak dengan hukum jatuh cinta yang membutakan pecintanya.

Setelah beberapa artikel yang lebih berisi cerita kebersamaan beliau dengan Gus Dur beserta kekaguman akan kehebatan bapak Pluralisme ini, kang Sobari sampai pada titik yang saya tunggu sebagai tokoh budayawan yang dengan dengan objek tulisannya. Tidak mudah memang mencari celak, titik dimana Gus Dur patut dikritik. Tetapi hal itu bukan berarti tidak ada. Kag Sobari menggali dengan sangat cermat. Dalam artikel yang hampir bagian akhir dari buku "Jejak Guru Bangsa"  beliau memberi judul "Politik Andai Kata".

Jeli, kang Sobari yang memang terlibat dalam perjalan Gus Dur dalam berpolitik. Terutama ketika dengan tiba-tiba Gus Dur menduduki istana Negara. Andai Kata muncul sebagai akibat dari penyesalan, atau pengharapan yang sudah terlambat. Kang Sobari berandai-andai setelah semua tercantum sebagai sejarah yang tidak mungkin diputar ulang. Gus Dur sudah lengser sebagai presiden dan Megawai sudah duduk manis sebagai penggantinya kala itu. Jabatan yang merenggankang persahabatan Gus Dur dengan Megawao yang terjalin sekian lama. Hanya dalam sekedap oleh poros tengah bentukan Amin Rais. Orang yang sekian lama bersebrangan dengannya, tetapi dengan sekejap menadi akur dan sering bertemu.  Kang Sobari memberi koreksi pada apa yang menjadi sikap dan perilaku politik Gus Dur kala itu sekali lagi. Ia berandai-andai. Ketika kaum nahdliyin menjulang amarahnya mendengar kabar bahwa Parlemen akan melengserkan Gus Dur. Entah oleh bisikan siapa, tapi pastinya sikap Gus Dur tidak berlandaskan pengetahuan pribadi, mengingat ia sebagai presiden yang mempunyai banyak staf dan pembantu, juga tim ahli. Kang Sobari menyayangkan Gus Dur, mengapa beliau tidak melepaskan jabatannya dengan pernyataan sikap politik yang asketik. Tetapi justru menggunakan dekrit presiden. Seandainya, lagi-lagi pengandaian, Gus Dur bersikap seakan ia tidak mempertahankan kedudukannya. Tetapi menyerahkan dengan legowo dengan sikap,
"La monggo kalau saya mau dilengserkan, wong saya dulu juga tidak menginginkan tapi diberi. Kalau sekarang diambil ya silahkan. Demi kestabilan demokrasi dan politik. Mandat rakyat ya untuk rakyat. Tidak usah repot-repot melengserkan saya. Gitu aja kok repot!"

Jika hal itu yang dilakukan oleh Gus Dur, maka kaum nahdliyin akan bersorak sorai dan kepahlawanan politik akan dipegangnya dengan erat. Serta mereka yang di Senayan akan tersipu malu. Bahwa mereka salah menjatuhkan Gus Dur. La gimana tidak salah? Menjatuhkan orang yang tidak menginginkan jabatan yang ia duduki. Serta keriuhan massa tidak akan terjadi. Hal ini yang luput dalan perjalan politik Gus Dur. Meski saya tahu Gus Dur tidak menginginkan disebut pahlawan.
Selamat membaca!

Senin, 03 Agustus 2015

Terimakasih sebagai penghantar Syukur

Kerumitan dunia memang tak henti-henti mempermainkan kita ya sayang. Kita disibukkan dengan tetek mbengek perkara yang tidak akan pernah menemukan ujung pangkalnya. Dituntut bekerja seharian , dan bahkan terkadang sampai larut malam, hasilnya tidak akan tahan bahkan untuk menutup kebutuhan perbulannya. Dalam kondisi tertentu bahkan gaji kita sudah habis sebelum dibayarkan, la wong tagihan menunggu.

Hidup hanyalah perkara sawang-sinawang. Berpapasan dengan pengendara Toyota Rush sedang kita hanya pengguna sepeda motor keluaran 1 dasawarsa yang lalu. Melihat teman dengan kehidupan yang mapan, masih lagi pendidikannya terpenuhi sedangkan kita dipaksa menelan ludah pengharapan. Tentang KPR yang semakin hari semakin mahal. Sedang disekitar kita banyak prang yang berumah megah. Atau melihat pacar orang dengan rambut pirang, putih, bohai, tinggi semampai, lincah seperti kuda jingkrak. Ya, namanya juga sawang-sinawang. Pasti kita lenih banyak membandingkan diri dengan mereka yang memiliki lebih. Dan terlalu jarang melihat mereka yang di bawah sehingga ada rasa ucap terima kasih atas yang sedang kita genggam.

Pepatah Jawa memberi kita rambu agar "nrimo lan syukur ing kahanan". Mensyukuri apa yang dimiliki, namun dengan tetap berusaha menggapai apa yang belum terlaksana.

Bagi saya pribadi perilaku syukur adalah hal terumit yang alangkah susahnya untuk benar-benar dirasakan. Jangan mengamakan syukur dengan hanya mengucap hamdallah. Sama sekali tidak mewakili. Mulut terlalu mudah untuk mengucap, bahkan tentang apa saja yang tidak ketahui sekalipun. Maka setidaknya ucapan rasa terimakasih saja. Satu hal yang mungkin lebih rendah derajatnya dibanding ungkapan syukur.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Pram, Aku, dan Jatuh Cinta

Saya mulai membacai karya- karya mas Pram -panggilan buat Pramoedya Ananta Toer- sejak masuk kuliah. Buku pertama karya mas Pram yang saya baca berjudul BUmi Manusia yang memang menjadi karya termasyhur sepanjang sejarah kesusastraan pribadinya. Novel Tetralogi tentang manusia dengan seperangkat persoalannya. Banyak hal yang saya sukai dari mas Pram. Dia pandai memaknai kehidupan, membaca realitas dan pengharapan. Untuk kemudian mengubah apa yang ia rasa, lihat, dengar, menjadi tuangan tulisan yang enak dibaca dan benar2 membawa pengaruh. Tak terkecuali tentang kehidupan pribadinya. Gadis Pantai adalah contoh tentang cerita kehidupan neneknya sendiri, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang tidak lain catatan hariannya selama di Pulau Buru sebagai tapol tanpa proses pengadilan. Sampai pada Bukan Pasar Malam yang secara jujur ia persembahkan untuk bapaknya.

Dalam banyak hal saya mengagumi mas Pram sebagai manusia genius yang pandai menikmati kesengsaraan hidup. Dan mulai saat itulah -dengan malu-malu- saya membabtis diri saya sendiri sebagai "pengagum" mas Pram.

Tidak ada yang meragukan kepiawaian mas Pram dalam dunia sastra. Kepiawaiannya dalam mengolah kata menjadikannya dipuja sekaligus dihujat pihak-pihak yang berbeda. Bagaimana tidak, ia menjadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang masuk dalam nominator peraih penghargaan Nobel kesusastraan dunia-dan mungkin akan selamanya menjadi satu-satunya. Dan justru yang menggagalkannya adalah orang-orang setanah airnya sendiri. Mereka yang merasa bersebrangan, para penguasa yang merasa terancam dengan kekritisan mas Pram. Mereka adalah para pihak yang tidak tahan kritik.

Mas Pram tidak kecewa dengan ia tidak meraih penghargaan itu, tetapi saya yakin ia kecewa dengan hal yang menyebabkannya. Ia adalah pejuang kemanusiaan yang dihujat karena melawan tirani penguasa negerinya sendiri. Bahkan ia sempat mengatakan
"kewarganegaraan saya tidak saya peroleh dengan gratis". Entah itu diucapakan dengan bangga atau sebuah erangan hidup yang begitu tidak adil. Yang jelas ia bukan seorang pengeluh.

Ia memanh dipuja. Menjadi pahlawan, pejuang bagi generasi setelahnya, didiskusikan dimana-mana. Namanya menjadi sandaran para kaum melarat bawah terdidik. Tetapi apa yang dikukannya tidak tidak dapat dipungkiri menjadi beban bagi keluarganya. Ia memang pahlawan kemanusiaan. Tetapi disaat yang sama ia membawa beban dan derita bagi anak2nya, istrinya, dan keluarga besarnya sendiri. Tetapi itulah pilihan yang harus diambil. Menjadi jagoan di rumah kecilnya, atau pahlawan bagi Bumi Manusia? Dan ia memilih yang kedua.

Begitulah mas Pram. Dan saya sungguh mengagumi karya dan pribadinya.
Dalam hal yang satu ini saya tidak seperti mas Pram, aku tidak perlu melihat keindahan matanya untuk mencintai. Untuk tidak perlu merasa bosan ketika matanya tidak indah lagi.