Sabtu, 01 Agustus 2015

Pram, Aku, dan Jatuh Cinta

Saya mulai membacai karya- karya mas Pram -panggilan buat Pramoedya Ananta Toer- sejak masuk kuliah. Buku pertama karya mas Pram yang saya baca berjudul BUmi Manusia yang memang menjadi karya termasyhur sepanjang sejarah kesusastraan pribadinya. Novel Tetralogi tentang manusia dengan seperangkat persoalannya. Banyak hal yang saya sukai dari mas Pram. Dia pandai memaknai kehidupan, membaca realitas dan pengharapan. Untuk kemudian mengubah apa yang ia rasa, lihat, dengar, menjadi tuangan tulisan yang enak dibaca dan benar2 membawa pengaruh. Tak terkecuali tentang kehidupan pribadinya. Gadis Pantai adalah contoh tentang cerita kehidupan neneknya sendiri, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang tidak lain catatan hariannya selama di Pulau Buru sebagai tapol tanpa proses pengadilan. Sampai pada Bukan Pasar Malam yang secara jujur ia persembahkan untuk bapaknya.

Dalam banyak hal saya mengagumi mas Pram sebagai manusia genius yang pandai menikmati kesengsaraan hidup. Dan mulai saat itulah -dengan malu-malu- saya membabtis diri saya sendiri sebagai "pengagum" mas Pram.

Tidak ada yang meragukan kepiawaian mas Pram dalam dunia sastra. Kepiawaiannya dalam mengolah kata menjadikannya dipuja sekaligus dihujat pihak-pihak yang berbeda. Bagaimana tidak, ia menjadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang masuk dalam nominator peraih penghargaan Nobel kesusastraan dunia-dan mungkin akan selamanya menjadi satu-satunya. Dan justru yang menggagalkannya adalah orang-orang setanah airnya sendiri. Mereka yang merasa bersebrangan, para penguasa yang merasa terancam dengan kekritisan mas Pram. Mereka adalah para pihak yang tidak tahan kritik.

Mas Pram tidak kecewa dengan ia tidak meraih penghargaan itu, tetapi saya yakin ia kecewa dengan hal yang menyebabkannya. Ia adalah pejuang kemanusiaan yang dihujat karena melawan tirani penguasa negerinya sendiri. Bahkan ia sempat mengatakan
"kewarganegaraan saya tidak saya peroleh dengan gratis". Entah itu diucapakan dengan bangga atau sebuah erangan hidup yang begitu tidak adil. Yang jelas ia bukan seorang pengeluh.

Ia memanh dipuja. Menjadi pahlawan, pejuang bagi generasi setelahnya, didiskusikan dimana-mana. Namanya menjadi sandaran para kaum melarat bawah terdidik. Tetapi apa yang dikukannya tidak tidak dapat dipungkiri menjadi beban bagi keluarganya. Ia memang pahlawan kemanusiaan. Tetapi disaat yang sama ia membawa beban dan derita bagi anak2nya, istrinya, dan keluarga besarnya sendiri. Tetapi itulah pilihan yang harus diambil. Menjadi jagoan di rumah kecilnya, atau pahlawan bagi Bumi Manusia? Dan ia memilih yang kedua.

Begitulah mas Pram. Dan saya sungguh mengagumi karya dan pribadinya.
Dalam hal yang satu ini saya tidak seperti mas Pram, aku tidak perlu melihat keindahan matanya untuk mencintai. Untuk tidak perlu merasa bosan ketika matanya tidak indah lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar