Hidup ini menuntut pengikutnya untuk berjejal dengan
waktu. Waktu mempunyai wajah ganda dalam porosnya sebagai pihak terpentingnya
proses kehidupan. Ia adalah pemberi kesempatan bagi manusia untuk menjalankan
perannya. Tapi di saat yang sama ia akan menindas jika kita tidak pandai
memperdayainya. Memperdayai bukan berarti menempatkannya sebagai musuh yang
musti diintai untuk diserang, dikalahkan. Akan tetapi menjadikannya sebgai
sahabat untuk dimanfaatkan sebagaimana kita memang memerluakan itu. Dimensi
waktu sebagai makhluk penting juga dibenarkan oleh Tuhan dalam kitab suciNya
al-Qur’an, yaitu surat al-ashr. Dalam surat ini Tuhan dengan jelas tanpa
malu-malu atau menutupi dengan mengaburkan makna seperti yang Ia lakukan dalam
banyak ayat lainya. Langsung di ayat pertama “dan demi waktu”. Ini bukanlaha sumpah serapah omong kosong. Tuhan
bersumpah atas nama waktu. Jika tuhan saja menggunakan waktu sebagai media
bersumpah, maka derajat makhluk yang namanya “waktu” lebih dari sekedar
penting, sebut saja istimewa.
Dalam kebudayaan manusia dewasa ini, terutama
orang-orang barat. Ada slogan “Time is
money”. Meskipun mreka tidak membaca surat al-ash, tetapi mereka telah
merasakan apa yang dititahkan Tuhan tentang waktu. Saya yakin bukan hanya dalam
al-Qur’an saja kedudukan waktu disinggung, karena memang tak ada yang bisa
keluar dari dimensi ruang dan waktu kecuali sang pencipta.
Time is
money adalah implikasi dari kapitalisme yang
merasuki kehidupan barat. Semboyan itu mampu merangsang pikiran mereka untuk
selalu bergerak, berbuat sesuatu untuk kemajuan diri. Tidak ada kata
santai-santai karena itu sama dengan mencecerkan uang sepanjang jalan. Barat memang
pandai memaksa diri mereka sendiri untuk tidak malas-malas. Lihat saja dalam
beberapa generasi, dan sampai sekarang barat telah menguasai hamper sebua
bidang dalam kehidupan. Terlebih urusan uang.
Kondisi ini adalah ketertinggalan orang timur yang
selama ini terkesan mengabaikan pesan akan pentingnya waktu. Kita tidak mampu
menguasainya, dan pada gilirannya justru kita yang dikejar-kejar dan tertindas
olehnya. Lihat saja bagaimana orang Amerika mengekspresikan pemahamannya
tentang waktu dalam sebuah film yang saya yakin tak pernah kita pikirkan. Film yang
baru saja tonton beberapa minggu yang lalu. “The in Time” judulnya. Dari judulnya saja kita sudah dapat
mengetahui tentang apa film itu diangkat. Dalam film ini uang sudah tidak laku,
tidak ada harganya. Dan bahkan tidak lagi beredar dipasaran. Lalu dengan apa
mereka bertransaksi?
Itulah yang justru diperlihatkan dengan sangat imaginatife.
Semua orang mempunyai jatah waktu dari sang penjaga waktu sejak lahir. Semua mempunyai
jatahnya sendiri-sndiri dengan mesin pendeteksi seperti jam tanganya Power
Ranger. Pernah nonton film asal Jepang itu kan? Yang buming tahun 2000an. Waktu
itu akan terus berjalan mundur, terus berkurang setiap detinya. Belum lagi
dalam bertransaksi apapu, seperti makan, menginap, beli mobil, bayar listrik. Ah,
pokoknya semua transaksi dibayar dengan waktu. Sudah barang tentu itu
mengurangi umurnya jika seseorang banyak bertransaksi. Lalu dari mana bisa
mendapatkan waktu lebih? Ya kerja, pekerjaan upahnya pun berupa waktu tambahan.
Jangan berhenti di sini. Dalam film ini pun terdapat bank tempat simpan-pinjam.
Lalu apa lagi kalau bukan waktu yang menjadi produknya.
Keren bukan! Sejauh itulah imaginasi dan kesadaran
orang-orang barat tentang waktu.



