Senin, 24 November 2014

Demi Waktu

Hidup ini menuntut pengikutnya untuk berjejal dengan waktu. Waktu mempunyai wajah ganda dalam porosnya sebagai pihak terpentingnya proses kehidupan. Ia adalah pemberi kesempatan bagi manusia untuk menjalankan perannya. Tapi di saat yang sama ia akan menindas jika kita tidak pandai memperdayainya. Memperdayai bukan berarti menempatkannya sebagai musuh yang musti diintai untuk diserang, dikalahkan. Akan tetapi menjadikannya sebgai sahabat untuk dimanfaatkan sebagaimana kita memang memerluakan itu. Dimensi waktu sebagai makhluk penting juga dibenarkan oleh Tuhan dalam kitab suciNya al-Qur’an, yaitu surat al-ashr. Dalam surat ini Tuhan dengan jelas tanpa malu-malu atau menutupi dengan mengaburkan makna seperti yang Ia lakukan dalam banyak ayat lainya. Langsung di ayat pertama “dan demi waktu”. Ini bukanlaha sumpah serapah omong kosong. Tuhan bersumpah atas nama waktu. Jika tuhan saja menggunakan waktu sebagai media bersumpah, maka derajat makhluk yang namanya “waktu” lebih dari sekedar penting, sebut saja istimewa.
Dalam kebudayaan manusia dewasa ini, terutama orang-orang barat. Ada slogan “Time is money”. Meskipun mreka tidak membaca surat al-ash, tetapi mereka telah merasakan apa yang dititahkan Tuhan tentang waktu. Saya yakin bukan hanya dalam al-Qur’an saja kedudukan waktu disinggung, karena memang tak ada yang bisa keluar dari dimensi ruang dan waktu kecuali sang pencipta.
Time is money adalah implikasi dari kapitalisme yang merasuki kehidupan barat. Semboyan itu mampu merangsang pikiran mereka untuk selalu bergerak, berbuat sesuatu untuk kemajuan diri. Tidak ada kata santai-santai karena itu sama dengan mencecerkan uang sepanjang jalan. Barat memang pandai memaksa diri mereka sendiri untuk tidak malas-malas. Lihat saja dalam beberapa generasi, dan sampai sekarang barat telah menguasai hamper sebua bidang dalam kehidupan. Terlebih urusan uang.
Kondisi ini adalah ketertinggalan orang timur yang selama ini terkesan mengabaikan pesan akan pentingnya waktu. Kita tidak mampu menguasainya, dan pada gilirannya justru kita yang dikejar-kejar dan tertindas olehnya. Lihat saja bagaimana orang Amerika mengekspresikan pemahamannya tentang waktu dalam sebuah film yang saya yakin tak pernah kita pikirkan. Film yang baru saja tonton beberapa minggu yang lalu. “The in Time” judulnya. Dari judulnya saja kita sudah dapat mengetahui tentang apa film itu diangkat. Dalam film ini uang sudah tidak laku, tidak ada harganya. Dan bahkan tidak lagi beredar dipasaran. Lalu dengan apa mereka bertransaksi?
Itulah yang justru diperlihatkan dengan sangat imaginatife. Semua orang mempunyai jatah waktu dari sang penjaga waktu sejak lahir. Semua mempunyai jatahnya sendiri-sndiri dengan mesin pendeteksi seperti jam tanganya Power Ranger. Pernah nonton film asal Jepang itu kan? Yang buming tahun 2000an. Waktu itu akan terus berjalan mundur, terus berkurang setiap detinya. Belum lagi dalam bertransaksi apapu, seperti makan, menginap, beli mobil, bayar listrik. Ah, pokoknya semua transaksi dibayar dengan waktu. Sudah barang tentu itu mengurangi umurnya jika seseorang banyak bertransaksi. Lalu dari mana bisa mendapatkan waktu lebih? Ya kerja, pekerjaan upahnya pun berupa waktu tambahan. Jangan berhenti di sini. Dalam film ini pun terdapat bank tempat simpan-pinjam. Lalu apa lagi kalau bukan waktu yang menjadi produknya.

Keren bukan! Sejauh itulah imaginasi dan kesadaran orang-orang barat tentang waktu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar