Banyak orang yang tidak sadar bahwa hal
yang ia seriusi akan menjadi ketertawaannya sendiri di kemudian hari. Hal yang
benar-benar akan membuat dirinya terhibur karena bisa menertawakan diri
sendiri. Menertawakan diri sendiri? Iya, sebab ia telah menyeriusi sesuatu yang
sebenarnya sangat pantas untuk ditertawakan. Tapi bukankah itu baik untuk menjaga
kewarasan? Atau bahkan menghidupkan kesadaran jiwa dari serangan modernisme yang
begitu kencangnya?
Benar, dan itu alasan yang membuatku
melakukan hal serupa sekarang ini. aku sedang benar-benar menyeriusi ssuatu
yang aku sendiri yakin akan kutertawakan nantinya. Garap skripsi! Tugas akhir
yang musti kukerjakan suka atau tidak suka. Skripsi memang hal serius, dan sama
sekali bukan lelucon. Karena itu menentukan kelulusan. Jika itu lelucon maka
tidak akan ribet-ribet melibatkan seorang atau bahkan beberapa orang pembimbing
untuk membantu berkonsultasi. Jika itu lelucon, maka tidak akan diperumit
dengan surat-menyurat yang mbulet dan tanpa nilai guna lebih. Justru menyita
waktu dan buang-buang tenaga. Padahal masih banyak hal yang lebih harus
diprioritaskan daripada mbuletnya birokrasi. Bayangkan, untuk melakukan
penelitian di Pati, karena ini penelitian lapangan. Saya harus mengurus surat
dari dosen pembimbing, kemudian diajukan ke Fakultas yang keluarnya harus
menunggu lama karena banyaknya keruwetan di sana. Setelah itu ke kantor
perijinan provinsi DIY. Hari jum’at saya mengajukan dan disanggupi hari senin
untuk pengambilan. Setelah itu musti ke Semarang untuk minta surat perijinan
yang di tembuskan ke kabupaten setempat. setelah mendapatkan surat dari
semarang baru kemudian ke Pati. Di Pati masih diwajibkan meminta dibuatkan
surat ijin peneltian di desa setempat
dengan membawa surat dari provinsi.
Jika matematikamu bagus hitunglah berapa
jarak yang harus saya tempuh dari kampus ke kantor DIY, dari DIY ke Semaran, dari
semarang ke Pati, dari kabupaten baru menyerahkan surat itu ke pihak terkait
yang akan mejadi objek penelitian. Belum lagi berapa waktu yang tersita untuk
hal setemeh itu. Ini saya belum menyinggung tenaga dan biaya. Sungguh lelucon
yang tidak lucu bukan?
Dengan birokrasi yang njimet itu maka tidak
heran justru hal yang urgen dalam pengerjaan skripsi justru terabaikan. Tidak begitu
diseriusi. Karena sudah merasa lelah dengan rute yang memakan waktu maka
referensi tidak begitu diutamakan.
Sepertinya
saya menjadi korban kejenuhan itu. Bukannya aku tidak serius, tidak
sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas akhir ini. aku sungguh-sungguh dan
suwer serius. Namun dalam tingkat serius untuk cepat-cepat rampung. Tidak menjamin
dalam kandungan isi dan hasil kajian. Tapi bagaimanapun saya bersyukur masih
punya keseriusan.
Tugas
akhir memang ikut menentukan lulusnya seorang mahasiswa, disamping
syarat-syarat lainnya. Tapi apakah lembaran-lembaran itu akan menentukan
kehidupan pemiliknya? Sulit untuk menjawab iya. Jawaban tidak sepertinya lebih
realis untuk dutarakan. Lembaran-lembaran itu hanya akan menjadi barang koleksi
yang ditumpuk di perpustakaan. Dan mungkin jika nanti telah penuh sesak, atau
dalam batas waktu tertentu akan dijual kiloan. Mungkin iya tapi mungkin juga
tidak.
Ada
hal yang lebih menentukan dari sekedar lebaran itu. Ya, fase setelah itu semua.
Masih bayak yang bingung apa yang akan dilakukan. Dan jika saya telah kerja
dengan nyaman nantinya. Saya akan menertawakan hal yang pernah benar-benar
kuseriusi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar