Rabu, 19 November 2014

Serius Untuk Ditertawakan


     Banyak orang yang tidak sadar bahwa hal yang ia seriusi akan menjadi ketertawaannya sendiri di kemudian hari. Hal yang benar-benar akan membuat dirinya terhibur karena bisa menertawakan diri sendiri. Menertawakan diri sendiri? Iya, sebab ia telah menyeriusi sesuatu yang sebenarnya sangat pantas untuk ditertawakan. Tapi bukankah itu baik untuk menjaga kewarasan? Atau bahkan menghidupkan kesadaran jiwa dari serangan modernisme yang begitu kencangnya?
     Benar, dan itu alasan yang membuatku melakukan hal serupa sekarang ini. aku sedang benar-benar menyeriusi ssuatu yang aku sendiri yakin akan kutertawakan nantinya. Garap skripsi! Tugas akhir yang musti kukerjakan suka atau tidak suka. Skripsi memang hal serius, dan sama sekali bukan lelucon. Karena itu menentukan kelulusan. Jika itu lelucon maka tidak akan ribet-ribet melibatkan seorang atau bahkan beberapa orang pembimbing untuk membantu berkonsultasi. Jika itu lelucon, maka tidak akan diperumit dengan surat-menyurat yang mbulet dan tanpa nilai guna lebih. Justru menyita waktu dan buang-buang tenaga. Padahal masih banyak hal yang lebih harus diprioritaskan daripada mbuletnya birokrasi. Bayangkan, untuk melakukan penelitian di Pati, karena ini penelitian lapangan. Saya harus mengurus surat dari dosen pembimbing, kemudian diajukan ke Fakultas yang keluarnya harus menunggu lama karena banyaknya keruwetan di sana. Setelah itu ke kantor perijinan provinsi DIY. Hari jum’at saya mengajukan dan disanggupi hari senin untuk pengambilan. Setelah itu musti ke Semarang untuk minta surat perijinan yang di tembuskan ke kabupaten setempat. setelah mendapatkan surat dari semarang baru kemudian ke Pati. Di Pati masih diwajibkan meminta dibuatkan surat ijin peneltian di desa  setempat dengan membawa surat dari provinsi.
     Jika matematikamu bagus hitunglah berapa jarak yang harus saya tempuh dari kampus ke kantor DIY, dari DIY ke Semaran, dari semarang ke Pati, dari kabupaten baru menyerahkan surat itu ke pihak terkait yang akan mejadi objek penelitian. Belum lagi berapa waktu yang tersita untuk hal setemeh itu. Ini saya belum menyinggung tenaga dan biaya. Sungguh lelucon yang tidak lucu bukan?
     Dengan birokrasi yang njimet itu maka tidak heran justru hal yang urgen dalam pengerjaan skripsi justru terabaikan. Tidak begitu diseriusi. Karena sudah merasa lelah dengan rute yang memakan waktu maka referensi tidak begitu diutamakan.
Sepertinya saya menjadi korban kejenuhan itu. Bukannya aku tidak serius, tidak sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas akhir ini. aku sungguh-sungguh dan suwer serius. Namun dalam tingkat serius untuk cepat-cepat rampung. Tidak menjamin dalam kandungan isi dan hasil kajian. Tapi bagaimanapun saya bersyukur masih punya keseriusan.
Tugas akhir memang ikut menentukan lulusnya seorang mahasiswa, disamping syarat-syarat lainnya. Tapi apakah lembaran-lembaran itu akan menentukan kehidupan pemiliknya? Sulit untuk menjawab iya. Jawaban tidak sepertinya lebih realis untuk dutarakan. Lembaran-lembaran itu hanya akan menjadi barang koleksi yang ditumpuk di perpustakaan. Dan mungkin jika nanti telah penuh sesak, atau dalam batas waktu tertentu akan dijual kiloan. Mungkin iya tapi mungkin juga tidak.

Ada hal yang lebih menentukan dari sekedar lebaran itu. Ya, fase setelah itu semua. Masih bayak yang bingung apa yang akan dilakukan. Dan jika saya telah kerja dengan nyaman nantinya. Saya akan menertawakan hal yang pernah benar-benar kuseriusi ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar