Jumat, 05 Juni 2015

Nasib Negeri Bawah Anginmu?

Indonesia, sebuah negara yang kita tak mampu mengucap heroiknya. Pramoedya Ananta Toer menuliskannya dengan sangat menarik dalam Arus Balik. Sebuah epos menjelang keruntuhan Majapahit yang sangat brilian. Menarik, kata yang sebenarnya tidak cukup untuk mewakili karya fenomenal itu. Novel sejarah dengan ketebalan hampir seribu halaman. Tapi adakah yang lebih mempesona melebihi kata “menarik”?
     Pram melukiskan betapa hebatnya kepulauan yang dulu tersatukan dalam sebutan Nusantara. Nusantara dengan para penguasanya, raja-raja yang membagi wilayah di bawah kekuasaan besar sang maha raja, Majapahit. Perahu-perahu prajurit Majapahit pernah menjelajah sampai ke negeri atas angin, ya eropa sekarang ini. Mereka pernah bertarung melawan pasukan kerajaan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan. Ini cerita sesungguhnya, bukan khayal-khayal penyejuk hati dari cocotnya para Motivator. Majapahit adalah nama lain dari kemegahan, kesuksesan, kemakmuran, kejayaan serta kehormatan.
     Mari kita merumuskan kembali kepingan-kepingan ingatan kita yang berserakan tentang jati diri kita sebagai bangsa. Setelah Majapahit runtuh oleh banyak sebab. Tidak mungkin bukan kerajaan sebesar dan kekuat itu runtuh hanya karena satu hal belaka? meski hal itu amatlah menentukan. Pengkhianatan para Bandar yang kebanyakan syah-syah dari Arab, intrik dalam istana akan perebutan posisi, serta ketertinggalan ilmu pengetahuan terutama dalam strategi perang dengan bangsa eropa yang semakin maju. Portugis dan Espanya sebenarnya bukan faktor penentu keruntuhan kerajaan maha besar ini.
     Setelah kerajaan yang menyatukan bangsa dari ujung Thailand sampai pojok barat Papua Nugini ini runtuh. Kawasan terbagi ket tangan penguasa-penguasa kecil yang lebih memilih bersahabat dengan para  penjajah eropa. Portugal, Espanya, Inggris, dan Prancis menancapkan pengaruhnya. Belanda di Indonesia merebut dari tangan Portugal. Inggris di Malaysia dan Singapura dan Portugal masih sangat kuat di Filiphina dan Tomor Leste.
    Ada yang menarik dalam kawasan yang pada akhirnya disebut Indonesia. Tanah air ini diduduki kolonialis selama empat abad kiranya. Bertahan dalam kurungan rumah sendiri, menjadi budah di tanah-air tinggalan nenek moyang sendiri selama empat abad bukanlah hal yang mudah. Butuh ketahanan diri dan jiwa yang tebal. Butuh jiwa-jiwa survive dalam segala penderitaan. Kebodohan memang mengajarkan untuk tetap bersabar, meski diinjak-injak sekalipun. Empat abad lamanya kita ditindas, namun kurun empat abad pula bangsa ini survive dan akhirnya mampu membentuk sebuah kesatuan. Empat abad diobrak-abrik. Kita membentuk kesatuan pada akhirnya. Kesatuan tekat adalah kesatuan pertama sebelum muncul kesatuan-kesatuan lainnya, macam kesatuan tanah air, kebangsaan, senasib, seperjuangan, dan kebahasaan.
    Dengan itu kita melalui semangat yang dikobarkan para jenderal dan pemimpin perlawanan mampu melawan para penenteng senjata laras panjang yang kita tidak punya, apalagi tahu cara menggunakannya. Menurut cerita sejarah, para pahlawan kita hanya memakai bambu runcing, ketapel, batu dan busur panah untuk melawan senjata-senjata laras panjang yang mampu menjangkau jarak ratusan meter itu. Pahlawan kita memang orang-orang nekat yang benar-benar pahlawan. Tentu saja tidak seperti Rambo yang tidak masuk diakal bocah-bocah sekalipun itu.

    Dan kini, anda sekalian peerlu tahu. Bangsa yang bersatu lewat jalan penderitaan dan perpecahan yang dibuat kaum kolonial ini kini pecah belah hanya setelah kurang dari 50tahun kemerdekaan. Benar kata Musa dalam film Exodus “kita memang bersatu dalam tujuan yang sama sekarang, tapi siapa yang tahu setelah kita menetap nanti”. Banyak kepala yang memimpin negeri ini, disertai kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya. Para penjajah tidak mampu memecah belah negeri ini. Namun akhirnya anak-cucunya sendiri yang mengobrak-abrik tatanan yang ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar