Selesai sudah membaca buku kang Sobari. Beserta itu pula hal-hal yang saya harapkan muncul juga di sana. Kang Sobari tidak mungkin tidak mengagumi Gus Dur yang sahabatnya sendiri, tetapi dia tahu bagaimana seharusnya menjadi sahabat yang baik, teman dekat yang melihat kedekatan sebagai usaha koreksi dan saling mengingatkan. Bukankah menjadi orang dekat justru memberi kita kesempatan lebih untuk memberi kritik dan koreksi yang cerdas, dan justru objektif? Kang Sobari melakukan perannya dengan sangat baik dalam hukum kedekatan ini, tidak dengan hukum jatuh cinta yang membutakan pecintanya.
Setelah beberapa artikel yang lebih berisi cerita kebersamaan beliau dengan Gus Dur beserta kekaguman akan kehebatan bapak Pluralisme ini, kang Sobari sampai pada titik yang saya tunggu sebagai tokoh budayawan yang dengan dengan objek tulisannya. Tidak mudah memang mencari celak, titik dimana Gus Dur patut dikritik. Tetapi hal itu bukan berarti tidak ada. Kag Sobari menggali dengan sangat cermat. Dalam artikel yang hampir bagian akhir dari buku "Jejak Guru Bangsa" beliau memberi judul "Politik Andai Kata".
Jeli, kang Sobari yang memang terlibat dalam perjalan Gus Dur dalam berpolitik. Terutama ketika dengan tiba-tiba Gus Dur menduduki istana Negara. Andai Kata muncul sebagai akibat dari penyesalan, atau pengharapan yang sudah terlambat. Kang Sobari berandai-andai setelah semua tercantum sebagai sejarah yang tidak mungkin diputar ulang. Gus Dur sudah lengser sebagai presiden dan Megawai sudah duduk manis sebagai penggantinya kala itu. Jabatan yang merenggankang persahabatan Gus Dur dengan Megawao yang terjalin sekian lama. Hanya dalam sekedap oleh poros tengah bentukan Amin Rais. Orang yang sekian lama bersebrangan dengannya, tetapi dengan sekejap menadi akur dan sering bertemu. Kang Sobari memberi koreksi pada apa yang menjadi sikap dan perilaku politik Gus Dur kala itu sekali lagi. Ia berandai-andai. Ketika kaum nahdliyin menjulang amarahnya mendengar kabar bahwa Parlemen akan melengserkan Gus Dur. Entah oleh bisikan siapa, tapi pastinya sikap Gus Dur tidak berlandaskan pengetahuan pribadi, mengingat ia sebagai presiden yang mempunyai banyak staf dan pembantu, juga tim ahli. Kang Sobari menyayangkan Gus Dur, mengapa beliau tidak melepaskan jabatannya dengan pernyataan sikap politik yang asketik. Tetapi justru menggunakan dekrit presiden. Seandainya, lagi-lagi pengandaian, Gus Dur bersikap seakan ia tidak mempertahankan kedudukannya. Tetapi menyerahkan dengan legowo dengan sikap,
"La monggo kalau saya mau dilengserkan, wong saya dulu juga tidak menginginkan tapi diberi. Kalau sekarang diambil ya silahkan. Demi kestabilan demokrasi dan politik. Mandat rakyat ya untuk rakyat. Tidak usah repot-repot melengserkan saya. Gitu aja kok repot!"
Jika hal itu yang dilakukan oleh Gus Dur, maka kaum nahdliyin akan bersorak sorai dan kepahlawanan politik akan dipegangnya dengan erat. Serta mereka yang di Senayan akan tersipu malu. Bahwa mereka salah menjatuhkan Gus Dur. La gimana tidak salah? Menjatuhkan orang yang tidak menginginkan jabatan yang ia duduki. Serta keriuhan massa tidak akan terjadi. Hal ini yang luput dalan perjalan politik Gus Dur. Meski saya tahu Gus Dur tidak menginginkan disebut pahlawan.
Selamat membaca!