Minggu, 16 Agustus 2015

Politik Pengandaian ala Kang Sobari

Selesai sudah membaca buku kang Sobari. Beserta itu pula hal-hal yang saya harapkan muncul juga di sana. Kang Sobari tidak mungkin tidak mengagumi Gus Dur yang sahabatnya sendiri, tetapi dia tahu bagaimana seharusnya menjadi sahabat yang baik, teman dekat yang melihat kedekatan sebagai usaha koreksi dan saling mengingatkan. Bukankah menjadi orang dekat justru memberi kita kesempatan lebih untuk memberi kritik dan koreksi yang cerdas, dan justru objektif? Kang Sobari melakukan perannya dengan sangat baik dalam hukum kedekatan ini, tidak dengan hukum jatuh cinta yang membutakan pecintanya.

Setelah beberapa artikel yang lebih berisi cerita kebersamaan beliau dengan Gus Dur beserta kekaguman akan kehebatan bapak Pluralisme ini, kang Sobari sampai pada titik yang saya tunggu sebagai tokoh budayawan yang dengan dengan objek tulisannya. Tidak mudah memang mencari celak, titik dimana Gus Dur patut dikritik. Tetapi hal itu bukan berarti tidak ada. Kag Sobari menggali dengan sangat cermat. Dalam artikel yang hampir bagian akhir dari buku "Jejak Guru Bangsa"  beliau memberi judul "Politik Andai Kata".

Jeli, kang Sobari yang memang terlibat dalam perjalan Gus Dur dalam berpolitik. Terutama ketika dengan tiba-tiba Gus Dur menduduki istana Negara. Andai Kata muncul sebagai akibat dari penyesalan, atau pengharapan yang sudah terlambat. Kang Sobari berandai-andai setelah semua tercantum sebagai sejarah yang tidak mungkin diputar ulang. Gus Dur sudah lengser sebagai presiden dan Megawai sudah duduk manis sebagai penggantinya kala itu. Jabatan yang merenggankang persahabatan Gus Dur dengan Megawao yang terjalin sekian lama. Hanya dalam sekedap oleh poros tengah bentukan Amin Rais. Orang yang sekian lama bersebrangan dengannya, tetapi dengan sekejap menadi akur dan sering bertemu.  Kang Sobari memberi koreksi pada apa yang menjadi sikap dan perilaku politik Gus Dur kala itu sekali lagi. Ia berandai-andai. Ketika kaum nahdliyin menjulang amarahnya mendengar kabar bahwa Parlemen akan melengserkan Gus Dur. Entah oleh bisikan siapa, tapi pastinya sikap Gus Dur tidak berlandaskan pengetahuan pribadi, mengingat ia sebagai presiden yang mempunyai banyak staf dan pembantu, juga tim ahli. Kang Sobari menyayangkan Gus Dur, mengapa beliau tidak melepaskan jabatannya dengan pernyataan sikap politik yang asketik. Tetapi justru menggunakan dekrit presiden. Seandainya, lagi-lagi pengandaian, Gus Dur bersikap seakan ia tidak mempertahankan kedudukannya. Tetapi menyerahkan dengan legowo dengan sikap,
"La monggo kalau saya mau dilengserkan, wong saya dulu juga tidak menginginkan tapi diberi. Kalau sekarang diambil ya silahkan. Demi kestabilan demokrasi dan politik. Mandat rakyat ya untuk rakyat. Tidak usah repot-repot melengserkan saya. Gitu aja kok repot!"

Jika hal itu yang dilakukan oleh Gus Dur, maka kaum nahdliyin akan bersorak sorai dan kepahlawanan politik akan dipegangnya dengan erat. Serta mereka yang di Senayan akan tersipu malu. Bahwa mereka salah menjatuhkan Gus Dur. La gimana tidak salah? Menjatuhkan orang yang tidak menginginkan jabatan yang ia duduki. Serta keriuhan massa tidak akan terjadi. Hal ini yang luput dalan perjalan politik Gus Dur. Meski saya tahu Gus Dur tidak menginginkan disebut pahlawan.
Selamat membaca!

Senin, 03 Agustus 2015

Terimakasih sebagai penghantar Syukur

Kerumitan dunia memang tak henti-henti mempermainkan kita ya sayang. Kita disibukkan dengan tetek mbengek perkara yang tidak akan pernah menemukan ujung pangkalnya. Dituntut bekerja seharian , dan bahkan terkadang sampai larut malam, hasilnya tidak akan tahan bahkan untuk menutup kebutuhan perbulannya. Dalam kondisi tertentu bahkan gaji kita sudah habis sebelum dibayarkan, la wong tagihan menunggu.

Hidup hanyalah perkara sawang-sinawang. Berpapasan dengan pengendara Toyota Rush sedang kita hanya pengguna sepeda motor keluaran 1 dasawarsa yang lalu. Melihat teman dengan kehidupan yang mapan, masih lagi pendidikannya terpenuhi sedangkan kita dipaksa menelan ludah pengharapan. Tentang KPR yang semakin hari semakin mahal. Sedang disekitar kita banyak prang yang berumah megah. Atau melihat pacar orang dengan rambut pirang, putih, bohai, tinggi semampai, lincah seperti kuda jingkrak. Ya, namanya juga sawang-sinawang. Pasti kita lenih banyak membandingkan diri dengan mereka yang memiliki lebih. Dan terlalu jarang melihat mereka yang di bawah sehingga ada rasa ucap terima kasih atas yang sedang kita genggam.

Pepatah Jawa memberi kita rambu agar "nrimo lan syukur ing kahanan". Mensyukuri apa yang dimiliki, namun dengan tetap berusaha menggapai apa yang belum terlaksana.

Bagi saya pribadi perilaku syukur adalah hal terumit yang alangkah susahnya untuk benar-benar dirasakan. Jangan mengamakan syukur dengan hanya mengucap hamdallah. Sama sekali tidak mewakili. Mulut terlalu mudah untuk mengucap, bahkan tentang apa saja yang tidak ketahui sekalipun. Maka setidaknya ucapan rasa terimakasih saja. Satu hal yang mungkin lebih rendah derajatnya dibanding ungkapan syukur.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Pram, Aku, dan Jatuh Cinta

Saya mulai membacai karya- karya mas Pram -panggilan buat Pramoedya Ananta Toer- sejak masuk kuliah. Buku pertama karya mas Pram yang saya baca berjudul BUmi Manusia yang memang menjadi karya termasyhur sepanjang sejarah kesusastraan pribadinya. Novel Tetralogi tentang manusia dengan seperangkat persoalannya. Banyak hal yang saya sukai dari mas Pram. Dia pandai memaknai kehidupan, membaca realitas dan pengharapan. Untuk kemudian mengubah apa yang ia rasa, lihat, dengar, menjadi tuangan tulisan yang enak dibaca dan benar2 membawa pengaruh. Tak terkecuali tentang kehidupan pribadinya. Gadis Pantai adalah contoh tentang cerita kehidupan neneknya sendiri, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang tidak lain catatan hariannya selama di Pulau Buru sebagai tapol tanpa proses pengadilan. Sampai pada Bukan Pasar Malam yang secara jujur ia persembahkan untuk bapaknya.

Dalam banyak hal saya mengagumi mas Pram sebagai manusia genius yang pandai menikmati kesengsaraan hidup. Dan mulai saat itulah -dengan malu-malu- saya membabtis diri saya sendiri sebagai "pengagum" mas Pram.

Tidak ada yang meragukan kepiawaian mas Pram dalam dunia sastra. Kepiawaiannya dalam mengolah kata menjadikannya dipuja sekaligus dihujat pihak-pihak yang berbeda. Bagaimana tidak, ia menjadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang masuk dalam nominator peraih penghargaan Nobel kesusastraan dunia-dan mungkin akan selamanya menjadi satu-satunya. Dan justru yang menggagalkannya adalah orang-orang setanah airnya sendiri. Mereka yang merasa bersebrangan, para penguasa yang merasa terancam dengan kekritisan mas Pram. Mereka adalah para pihak yang tidak tahan kritik.

Mas Pram tidak kecewa dengan ia tidak meraih penghargaan itu, tetapi saya yakin ia kecewa dengan hal yang menyebabkannya. Ia adalah pejuang kemanusiaan yang dihujat karena melawan tirani penguasa negerinya sendiri. Bahkan ia sempat mengatakan
"kewarganegaraan saya tidak saya peroleh dengan gratis". Entah itu diucapakan dengan bangga atau sebuah erangan hidup yang begitu tidak adil. Yang jelas ia bukan seorang pengeluh.

Ia memanh dipuja. Menjadi pahlawan, pejuang bagi generasi setelahnya, didiskusikan dimana-mana. Namanya menjadi sandaran para kaum melarat bawah terdidik. Tetapi apa yang dikukannya tidak tidak dapat dipungkiri menjadi beban bagi keluarganya. Ia memang pahlawan kemanusiaan. Tetapi disaat yang sama ia membawa beban dan derita bagi anak2nya, istrinya, dan keluarga besarnya sendiri. Tetapi itulah pilihan yang harus diambil. Menjadi jagoan di rumah kecilnya, atau pahlawan bagi Bumi Manusia? Dan ia memilih yang kedua.

Begitulah mas Pram. Dan saya sungguh mengagumi karya dan pribadinya.
Dalam hal yang satu ini saya tidak seperti mas Pram, aku tidak perlu melihat keindahan matanya untuk mencintai. Untuk tidak perlu merasa bosan ketika matanya tidak indah lagi.

Jumat, 05 Juni 2015

Tentang Kamu dalam Logika,

Semalam, seperti halnya malam-malam sebelumnya di hari rabu. Ngaji filsafat akan tetap berlangsung meski kondisi tengah berubah. Kenaikan BBM, ricul menjelang Munas Golkar, DPR yang tak kunjung bener, dan seabrek persoalan Negara tidak akan mempengaruhi para jama’ah yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Acara rutinan ini setidaknya memberi ruang bagi kami-kami yang sedang dalam kekalutan atas diri sendiri. Memberi tempat untuk tetap menjaga kewarasan di tengah-tengah dunia yang terus berubah. Bicara tentang perubahan tentu tidak hanya sedang bicara kemajuan-kemajuan teknologi masa kini, tetapi yang lebih penting adalah akibat buruk yang semakin lama semakin nyata. Kehidupan yang semakin hedonis, individualis, materialis, hilangnya humanisme dari sendi-sendi kehidupan.
Implikasi ini bukan sekedar masalah sambil lalu. Paceklik kamanusiaan akan terus merembet dan diwariskan ke generasi selanjutnya. Prediksi akan lebih parah bukan tidak berdasar. Kemungkinan itu akan terwujud sangatlah terpampang nyata membahana, mengutip ratu telek Syahrini.
Kembali pada peristiwa yang sedang kita bicarakan. Ngaji filsafat memiliki banyak yang arti tidak banyak dimengerti. Satu yan paling pokok adalah mengembalikan fungsi masjid sebagai wadah kegiatan umat. Salut pada para penghuni singgasana ketakmiran masjid itu. Dimotori Yasir Arafat sebagai empunya kala itu. Masjid Jendral Sudirman dapat dinobatkan sebagai satu-satunya masjid yang menyelenggarakan ngaji filsafat. Tradisi intelektual islam yang sudah lama vakum dari keberpijarannya, kini akan dimulai dari emperan masjid. Seperti yang dulu-dulu dilakukan oleh ibnu Rusy, ibnu Sina, ibnu Arabi, al-Ghazali, al-Hallaj, dan bahkan Nabi Muhammad serta para sahabatnya lakukan. Masjid sebagai pusat intelektual umat islam. Pertukaran dan transformasi ilmu dimulai dari sini.
Baiklah, semalam Romo Fahruddin Faiz sebagai sang maha guru membahas tokoh filsafat Persia, Mulla Sadra. Jangan bayangkan ini akan seperti yang terjadi di pengajian-pengajian pada biasanya. Jika bicara Persia atau Iran maka akan mendikotomikannya pada Syi’ah dan menghukumi sesat. Menghujat mereka untuk memasukkan ke mereka ke neraka sesuka udelnya. Sekali lagi jangan samakan Masjid ini dengan masjid-masjid yang lainnya. Ini masjid Islam Nusantara.
Romo Faiz mengupas filsafatnya Mulla Sadra, tentang kejiwaan dan keTuhanan. Dalam pandangan Mulla Sadra esensi sesuatu terbentuk atas eksistensinya. Dia tidak percaya dengan esensi bawaan, tidak ada esensi bawaan pada diri suatu benda atau makhluk. Seseorang disebut alim dan sholeh jika ia menunjukkan eksistensinya demikian. Jika ia rajin ke masjid, rajin ibadah, dan suka berbuat baik. Tidak mungkin preikat alim dan sholeh dialamatkan pada seseorang yang ketika ada adzan saja tidak mau beranjak, malah justru tidur-tiduran. Artinya esensi seseorang itu alim atau bukan, tergantung pada perbuatan dia yang itu dapat dirasakan oleh orang lain yang menilainya.
Romo Faiz juga menyinggung tentang perbedaan yang dimiliki manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Yaitu, kemampuan berimaginasi, kemampuan berkhayal, dan kekuatan memori. Tiga hal yang musti terus diasah oleh setiap manusia berakal.
Kemampuan berimaginasi yang dimiliki manusia timbul dari kumpulan rekaman-rekaman yang telah dilampauinya. Rekaman yang terekam dalam memori itulah yang kemudian memberi kesimpulan terhadap esensi sesuatu. Di sini esensi benda sudah mendapat bentuknya. Kemampuan akal manusia mengimajinasikan esensi sesuatu tersebut dalam bentuk lain yang diangan-angankan.
Berkhayal, ini merupakan salah satu kemampuan terpenting yang harus dimiliki seorang manusia. Jangan meremehkan kekuatan khayali. Berkhayal bukanlah hal yang semudah dipikirkan banyak orang. Perlu kepekaan, latihan, serta kebiasaan yang benar-benar dilakukan. Meski hasil khayali bukan sebuah realita, namanya juga berkhayal. Namun pekerjaan ini merupakan realitas yang rumit. Kemampuan khayali sesorang tidak sama satu dengan lainnya. Tergantung kecerdasan yang dimiliki. Berkhayal saja butuh kecerdasan.

Kemampuan memori, sebagai sebuah contoh untuk membuktikan bahwa kesehatan memori seorang manusia sangatlah penting posisinya. Kita ingat-ingat, jika pernah melihat orang yang diangap “gila/tidak waras”. Beberapa diantara mereka masih punya kemampuan untuk berimaginasi. Pernah saya melihat ada yang memakai plastic untuk menutupi kemaluannya karena tidak memakai pakaian. Ini membuktikan masih ada kemampuan berimaginasi, meskipun tinggal sisa-sisa. Namun kemampuan memorinya sudah rusak. Dan bayangkan jika seorang manusia benar-benar rusak total memorinya hingga ia lupa jika dia manusia. kekacauan akan timbul bukan?

Manusiakah Kita?

Banyak kejadian aneh yang sering kita jumpai di perkotaan. Daerah-daerah urban yang penuh sesak dengan rumah-rumah yang berjubal tak teratur. Menambah sesak pula bahwa semakin banyak yang tinggal di sebuah tempat, maka semakin menghidupkan aktifitas perekonomian di daerah tersebut. Demikian teori ekonomi yang populer sejak saya lahir. Kota adalah karya seni sosial warganya. Jika kota berjubal tak teratur maka begitulah kira-kira dapat kita lihat penjelmaan pola pikir warganya. Kota yang teratur, rapi, bersih, tertata adalah cermin dari warganya yang pola pikirnya tertata.
   Jalanan sesak dengan kendaraan yang cerobong asapnya mengeluarkan racun dan dihirup oleh manusia. Kota, agak membingungkan melihat kota yang mempunyai dua sisi yang saling bertentangan. Kota adalah lumbung kejahatan, kebisingan, ketidaknyamanan. Tapi kota pula yang jadi tujuan beribu orang berbondong-bondong memadatinya dengan banyak alasan, mencari keramaian, pekerjaan, menyambug hidup, dan seabrek tetek bengek kedunyan lainnya.
Manusia dicipta dengan perbedaan yang mendasar melampaui makhluk yang mendekatinya. Manusia adalah penyempurnaan dari penciptaan hewan oleh Tuhan. Jika hewan memiliki insting, nafsu, maka manusia dilengkapi dengan akal. Yaitu pola pikir. Ada yang memberi penjelasan bahwa akal bukan hanya terletak di kepala atau otak. Namun berupa satu paket dengan hati. Dengan perbedaan yang ada manusia melampaui kehewanan. Hewan dengan insting dan nafsu tidak sempat memiliki kemampuan untuk menimbang baik-buruk, untung-rugi. Melakukan apa yang ia mau, suka, dan mampu sesuai dengan insting yang dimiliki.
   Manusia yang dilengkapi dengan pola pikir dan hati untuk merasa memiliki senjata yang lebih lengkap untuk mengarungi ekosistem kehidupan. Kemudian muncul etika, moral, sopan-santun, estetika dan lain sebagainya. Jika hewan hanya mementingkan urusan perut atau kadunyan. Manusia tidak hanya itu, ia telah lebih dari hewan. Melebihi kepentingan kadunyan yang tidak butuh panjang lebar.
   Fenomena di perkotaan adalah fenomena degradasi pada diri manusia. Manusia yang sudah kehilangan morak, etika, susial, estetika sebagai produk dari akal budi yang diberikan kepadanya. Jika manusia kota sudah membuang aksesoris tadi dengan menumpukinya masalah kadunyan. Maka hilanglah kemanusiaan yang menjadi fitrah padanya. Kita bisa dengan mudah melihat apa yang terjadi diperjalnan. Hewanisasi manusia telah merebah, terutama di kawasan perkotaan yang padat dengan aktifitas ekonomi. Saling salip, saling tikung satu sama lain. Saling menjatuhkan dan kalau bisa membuat yang lain tak mampu berjalan apalagi berlari untuk mengejarnya. Jalan bersama saja kalau bisa jangan sampai terjadi.

        Jika demikian, Masih manusiakah kita?

Nasib Negeri Bawah Anginmu?

Indonesia, sebuah negara yang kita tak mampu mengucap heroiknya. Pramoedya Ananta Toer menuliskannya dengan sangat menarik dalam Arus Balik. Sebuah epos menjelang keruntuhan Majapahit yang sangat brilian. Menarik, kata yang sebenarnya tidak cukup untuk mewakili karya fenomenal itu. Novel sejarah dengan ketebalan hampir seribu halaman. Tapi adakah yang lebih mempesona melebihi kata “menarik”?
     Pram melukiskan betapa hebatnya kepulauan yang dulu tersatukan dalam sebutan Nusantara. Nusantara dengan para penguasanya, raja-raja yang membagi wilayah di bawah kekuasaan besar sang maha raja, Majapahit. Perahu-perahu prajurit Majapahit pernah menjelajah sampai ke negeri atas angin, ya eropa sekarang ini. Mereka pernah bertarung melawan pasukan kerajaan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan. Ini cerita sesungguhnya, bukan khayal-khayal penyejuk hati dari cocotnya para Motivator. Majapahit adalah nama lain dari kemegahan, kesuksesan, kemakmuran, kejayaan serta kehormatan.
     Mari kita merumuskan kembali kepingan-kepingan ingatan kita yang berserakan tentang jati diri kita sebagai bangsa. Setelah Majapahit runtuh oleh banyak sebab. Tidak mungkin bukan kerajaan sebesar dan kekuat itu runtuh hanya karena satu hal belaka? meski hal itu amatlah menentukan. Pengkhianatan para Bandar yang kebanyakan syah-syah dari Arab, intrik dalam istana akan perebutan posisi, serta ketertinggalan ilmu pengetahuan terutama dalam strategi perang dengan bangsa eropa yang semakin maju. Portugis dan Espanya sebenarnya bukan faktor penentu keruntuhan kerajaan maha besar ini.
     Setelah kerajaan yang menyatukan bangsa dari ujung Thailand sampai pojok barat Papua Nugini ini runtuh. Kawasan terbagi ket tangan penguasa-penguasa kecil yang lebih memilih bersahabat dengan para  penjajah eropa. Portugal, Espanya, Inggris, dan Prancis menancapkan pengaruhnya. Belanda di Indonesia merebut dari tangan Portugal. Inggris di Malaysia dan Singapura dan Portugal masih sangat kuat di Filiphina dan Tomor Leste.
    Ada yang menarik dalam kawasan yang pada akhirnya disebut Indonesia. Tanah air ini diduduki kolonialis selama empat abad kiranya. Bertahan dalam kurungan rumah sendiri, menjadi budah di tanah-air tinggalan nenek moyang sendiri selama empat abad bukanlah hal yang mudah. Butuh ketahanan diri dan jiwa yang tebal. Butuh jiwa-jiwa survive dalam segala penderitaan. Kebodohan memang mengajarkan untuk tetap bersabar, meski diinjak-injak sekalipun. Empat abad lamanya kita ditindas, namun kurun empat abad pula bangsa ini survive dan akhirnya mampu membentuk sebuah kesatuan. Empat abad diobrak-abrik. Kita membentuk kesatuan pada akhirnya. Kesatuan tekat adalah kesatuan pertama sebelum muncul kesatuan-kesatuan lainnya, macam kesatuan tanah air, kebangsaan, senasib, seperjuangan, dan kebahasaan.
    Dengan itu kita melalui semangat yang dikobarkan para jenderal dan pemimpin perlawanan mampu melawan para penenteng senjata laras panjang yang kita tidak punya, apalagi tahu cara menggunakannya. Menurut cerita sejarah, para pahlawan kita hanya memakai bambu runcing, ketapel, batu dan busur panah untuk melawan senjata-senjata laras panjang yang mampu menjangkau jarak ratusan meter itu. Pahlawan kita memang orang-orang nekat yang benar-benar pahlawan. Tentu saja tidak seperti Rambo yang tidak masuk diakal bocah-bocah sekalipun itu.

    Dan kini, anda sekalian peerlu tahu. Bangsa yang bersatu lewat jalan penderitaan dan perpecahan yang dibuat kaum kolonial ini kini pecah belah hanya setelah kurang dari 50tahun kemerdekaan. Benar kata Musa dalam film Exodus “kita memang bersatu dalam tujuan yang sama sekarang, tapi siapa yang tahu setelah kita menetap nanti”. Banyak kepala yang memimpin negeri ini, disertai kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya. Para penjajah tidak mampu memecah belah negeri ini. Namun akhirnya anak-cucunya sendiri yang mengobrak-abrik tatanan yang ada. 

Rabu, 27 Mei 2015

Djogjamu tempoe kini?

.Mungkin kota ini merupa kota paling Romantis. Jika anda berkunjung ke sini akan dibuat kaget. Tidak akan sulit anda temukan para gadis dengan wajah rupawan yang menenteng buku-buku tebal, berkumpul mendiskusikan hal-hal haibat yang tidak semua orang memahaminya. Berjalan disudut-sudut kota, melewati trotoar yang sudah beralih fungsi jadi tempat dagang dan jalanan yang kian hari-kian padat, bagunan-bangunan bersejarah menyambut dengan para pelancong dengan lampu remang-remang. Bangunan gaya Indis dan peninggalan kerajaan tempoe doeloe memberi kemanjaan.

Saran saya, sempatkan untuk mengunjungi kedai-kedai kopi yang mempersempit persawahan, bersaing dengan bangunan-bangunan baru menjulang tinggi. Di kedai-kedai itu akan sangat mudah ditemukan sekumpulan mahasiswa-mahasiswi yang tidak mengenal gender, sebuah isu lama yang di negeri ini kita junjung lewat sosok Kartini, si Gadis Jelita asal Jepara. Mereka, para gadis mahasisiwi itu akan dengan asik memperbincangkan Karl Marx, Maciavelin, Zola, Jean-Paul Sartre, Nietzche, atau tiga serangkai guru-murid (Socrates-Plato-Aristoteles). Mereka yang jebolan kampus Islam akan asyik dengan Ibnu Khaldun, Al-hallaj, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Al-Farabi, Al-Ghazal, dan tentu saja sang sufi perempuan paling fenomenal di dunia Islam –Robiah Adawiyah.

Siapapun yang pernah berkunjung ke kota ini pasti akan merasakan tabiat yang sama. Ingin kembali lagi, Kapan ke Jogja Lagi- kaliman jualannya. Atau bahkan berharap mampu KPR di perumahan yang kian hari-kian merebut tempat tumbuhnya padi, makan apa anak-cucu kita nanti ya? Ya, Jogja memang tidak henti-hentinya menawarkan kemewahan eksotisnya. Bangunan-bangunan bersejarah memberi suasana asyik dibawah sinar lampu sepanjang jalan yang remang-remang.

Namun mungkin akan anda sesali, kota ini telah terjual oleh nama besarnya sendiri. Bangunan bersejarah yang dibangga-banggakan itu akan berganti dengan gedung-gedung megah pencakar langit macam hotel dan apartement. Saya membayangkan dalam sepuluh tahun kedepan dari sekarang, kota ini tak ubahnya Jakarta tempoe sekarang. Mungkin agak berlebihan, tapi itu bisikan pohon beringin kali Gajah Wong padaku kemarin malam pas kebetulan saya lewat.